Monday, April 2, 2012

Keberadaan Wamen (in)konstitusional


Hingga kini, keberadaan wakil menteri masih diperdebatkan. Bermula dari LSM Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK), melalui ketuanya Adi Warman mengajukan judicial review mengenai materi UU Kementerian Negara. Perkara ini masuk ke MK dengan Register Perkara No. 79/PUU-IX/2011. Pada tanggal 1 Desember 2011 telah dilakukan pemeriksaan pendahuluan dan tanggal 4 Januari 2011 telah memasuki Acara Mendengarkan Keterangan Pemerintah, DPR, dan Saksi/Ahli dari Pemohon dan Pemerintah.

Pemohon meminta Mahkamah agar menyatakan Pasal 10 UU Kementerian Negara yang berbunyi, “Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat Wakil Menteri pada Kementerian tertentu” bertentangan dengan Pasal 17 UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.

Lebih lanjut kuasa Pemohon, Arifsyah menuturkan bahwa Pasal 51 Perpres Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara menyatakan, “Susunan organisasi Kementerian yang menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 terdiri atas unsur: a. pemimpin, yaitu Menteri; b. pembantu pemimpin, yaitu Sekretariat Kementerian; c. pelaksana, yaitu Deputi Kementerian; dan d. pengawas, yaitu Inspektorat Kementerian”. Di sana memang belum menyebutkan peran dan fungsi wakil menteri, sebagaimana juga dengan posisi Staf Ahli karena yang diterangkan ialah unsur organisasi. Meski demikian, bukan berarti posisi mereka dinafikan, melainkan dijelaskan pada bab terpisah.

Sebelumnya 19 Oktober 2011 lalu Presiden SBY melantik 13 wakil menteri. Tidak seperti Perpres 47/2009, Perpres mengenai perubahannya (76/2011) yang disahkan tanggal 13 Oktober tidak mengharuskan seorang wakil menteri telah menduduki jabatan struktural eselon I.a. namun tetap harus diisi oleh pejabat karier. Mengacu pada UU 43/1999 Tentang Pokok-pokok Kepegawaian definisi Jabatan Karier adalah jabatan dalam lingkungan birokrasi pemerintah yang hanya dapat diduduki oleh Pegawai Negeri Sipil atau Pegawai Negeri yang telah beralih status sebagai Pegawai Negeri Sipil. Kemudian, Posisi Wamen juga diperkuat dengan Perpres 92/2011 yang menyebutkan secara rinci nomenklaturnya di masing-masing kementerian.

Menurut Prof. Amzulian Rifai, diungkitnya jabatan wakil menteri lebih karena alasan politis, bukan semata-mata dikarenakan persoalan yuridis. Secara yuridis, wakil menteri memiiliki legitimasi. Ia semestinya dipandang sebagai jabatan yang diisi pejabat karier, baik berasal dari pejabat struktural maupun fungsional.

Dalam perspektif hukum tata negara, sekalipun jabatan wakil menteri tidak diatur, baik dalam UUD 1945 maupun peraturan perundang-undangan lain, Presiden sebagai kepala pemerintahan tetap memiliki kewenangan untuk mengadakannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945.

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, posisi wakil menteri pernah diadakan. Tidak seharusnya kewenangan konstitusional Presiden tersebut diintervensi oleh cabang kekuasaan lain, termasuk oleh kekuasaan yudisial. Atas dasar ini, langkah Presiden SBY mengangkat para wakil menteri sudah sesuai dengan ketentuan. Bahwa jumlahnya ter-kesan "diobral", itu soal lain.

Dari berbagai perspektif tersebut kemudian muncul pertanyaan, nilai manakah yang mesti dikedepankan. Apakah nilai keadilan, kepastian hukum, atau nilai kegunaan. Ketiganya merupakan nilai dasar hukum, namun masing-masing nilai mempunyai tuntutan berbeda satu sama lain, sehingga ketiganya memiliki potensi untuk saling bertentangan dan menyebabkan adanya ketegangan antara ketiga nilai tersebut (spannungsverhältnis). Kini kita tunggu saja apa keputusan MK dan atas pertimbangan apa memutus perkara tersebut.

1 comment:

terima kasih untuk komentarnya..