Monday, January 18, 2010

Wisata Kota Tua


Di Minggu pagi yang basah, saya bertolak dari UI ke Stasiun Kota. Kami janjian jam 10 di depan museum Bank Mandiri. Tapi, belum ada jam 10 saya sudah sampai di Kota, untuk kali ini saya tidak ngaret kawan. SMS menginfokan rombongan temen-temen yang naik busway udah sampai di museum Bank Mandiri. Saya masih tertahan di stasiun kota nungguin si Macil anak Tebet. Jam setengah 11 tuh anak baru nongol. Kamipun segera bergegas ke museum, dan dengan ‘cerdas’nya kami berbecek-becek ria nyebrang jalan super ramai, padahal di deket stasiun/shelter busway ada tembusan ke depan museum lewat ‘kolong’ (jalan penghubung bawah tanah).

Tempat pertama yang kami jamahi tentunya yang paling deket, Museum Bank Mandiri. Cukup dengan menunjukkan kartu Mandiri atau KTM kita bisa masuk gratis, kalo gak punya mesti bayar dua ribu kalo gak salah. Museum ini dulunya adalah gedung Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) atau yang merupakan perusahaan dagang milik Belanda. NHM dinasionalisasi tahun 1960 menjadi kantor Bank Koperasi Tani & Nelayan (BKTN) Urusan Ekspor Impor. Kemudian bersamaan dengan lahirnya Bank Ekspor Impor Indonesia (BankExim) pada tahun 1968, gedung tersebut pun beralih menjadi kantor pusat Bank Exim, hingga akhirnya dimerger bersama Bank Dagang Negara (BDN), Bank Bumi Daya (BBD) dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) ke dalam Bank Mandiri (1999). Kini gedung tersebut pun menjadi asset Bank Mandiri. Jadi maklum aja kalo di gedung itu penuh foto-foto pejabat Bank tersebut dari jaman baheula sampai yang sekarang seperti Dirut Bank Mandiri Arif Widodo Agus Martowardoyo.

Next trip, Museum Bank Indonesia. Dulunya gedung ini adalah bank central Belanda, De Javache Bank, sebelum akhirnya berubah jadi BI dan migrasi ke Thamrin. Kalo temen-temen beranggapan museum itu sarat dengan benda kuno, jadul, atau serem, jelas pandangan itu nggak berlaku di Museum BI. This museum so digital. Keren pisan lah pokoknya, ber-AC pula, lumayan bisa numpang ngadem hehe.. Kemudian kami solat dzuhur di musola belakang museum BI. Setelah puas makan roti buatan emaknya Ojan kami lanjut ke Fatahillah.

Di alun-alun deket museum wayang kami bertemu rombongan lain temen satu fakultas, sungguh sempit dunia ini kawan =D. Kami masuk museum Fatahillah, masing-masing bayar seribu, tapi semua di kasih tiket rombongan seharga 750. 250nya ditilep, kalikan aja sama ratusan atau ribuan pengunjung setiap bulannya?? Lumayan lah ya pak hasil korupsinya!! Museum Fatahillah hari itu begitu padat merayap. Di balik kusen-kusen jendela museum terlihat pasangan muda-mudi asyik pacirun, jelas membuat para jomblowan rombongan kami bersungut-sungut iri memaki.

Setelah puas berfoto-foto dengan patung Hermes, meriam Si Jagur, dan lukisan-lukisan yang entah siapa tokoh di dalamnya, dan sampai kehabisan gaya berfoto, kami pun melangkahkan kaki ke warung tenda untuk santap siang menjelang sore. Semua pesen makanan, nasi gila, mie ayam, sate padang, dll. Saya sendiri bawa bekel dari rumah, nah supaya gak keliatan numpang-numpang amat saya mesen teh botol doang. Dari Tupperware berwarna orange gonjreng tercium aroma nasi goreng, tidak lupa air minumnya. Ah baik sekali ibu saya ini, nggak mau buah hatinya kalah sama tamasya anak TK rupanya. Setelah kenyang, dan museum-museum mulai tutup, kamipun pulang membawa kenangan.. see u..
Continue Reading →

Monday, January 11, 2010

Kepergian Para Ayah



Sabtu sore yang lalu. Saya reunian dengan teman-teman Fisipers angkatan sepuh. Berjam-jam kami di kantin, ngobrol ngalor-ngidul nggak karuan. Akhirnya obrolan ditutup dengan pertanyaan: “Kalo lo punya waktu setengah jam aja balik ke masa lalu, lo mau ngapain? ngulang masa-masa indah? Atau ngebenahin sesuatu yang lo anggap kurang/salah?” Jawaban demi jawaban pun meletup, seperti sesuatu yang tertahan sejak lama. Saya sendiri lebih banyak ndengerin jawaban temen-temen, bukan karena gak punya jawaban, tapi karena terlalu banyak yang ingin saya ungkapkan, jadi bingung sendiri mesti mulai dari mana.

Acara kumpul-kumpul pun usai, sebagian dari kami mesti segera bergegas ke Pejompongan, daerah yang saya nggak tau lika-likunya. Saya ke sana untuk menghadiri acara ta’ziah 40 harian ayahnya teman saya di FHUI. Sebelum ke Pejompongan, saya nganterin Smita dulu ke Plaza Senayan, terus ngejemput Khalid di Ratu Plaza. Hari itu ojek saya sedang laris-manis rupanya..

Kedodolan pun terjadi, akibar dari pengetahuan yang minim soal Jakarta Pusat. Jadi, saya datang dari arah Gatot Subroto, dan di Pal Merah saya lupa belok, alhasil saya bablas sampai ke Tol Tomang-Slipi-Tangerang buat cari putaran balik arah. Bayangkan kawan, dengan kondisi mengendarai motor gerimis-gerimis itu saya hampir melintasi tiga provinsi sekaligus!! Pesan moral: Persiapkan amunisi sebaik mungkin sebelum Anda berangkat berperang, kalau tidak ingin bersimbah darah di medan tempur.

Alamat yang tidak lengkap, dan nomer handphone yang sulit dihubungi membuat kami kesulitan cari alamat. Akhirnya kami mampir di sebuah masjid, shalat maghrib, shalat isya, juga sekalian numpang neduh. Waktu menunjukkan pukul 20.30. Marbot masjid mulai mematikan lampu, tanda masjid mau tutup. HP saya bergetar, sms masuk, isinya berita duka cita lagi, ayah dari Arif Kurniawan, alumni 34 angkatan 2007, meninggal sore tadi selepas maghrib..

Kami pun tidak berhasil menemukan rumah teman kami (rumah kakeknya Thariq lebih tepatnya). Walopun tidak ikut tahlilan di rumah duka, kami tetap mendoakan almarhum dari masjid itu. Keesokan harinya saya menghadiri pemakaman ayahnya Arif di Andara, Pondok Labu. Tepat setelah shalat dzuhur, kami membentuk tiga shaf rapat untuk shalat jenazah. Setelah itu kami menuju pemakaman, Tangis pun pecah, berat memang ditinggalkan orang yang kita sayangi.

Sayup-sayup suara adzan terdengar, suasana hening dan haru menyelimuti pemakaman. Itu suara Arif, saya hafal betul warna suara itu, suara yang bersumber dari liang lahat, suara yang terdengar begitu lirih.. Serta-merta mata saya pun berkaca-kaca. Seketika saja ingatan saya tertarik ke lima tahun yang silam. Saat itu saya berusaha berdiri sekokoh mungkin, melantangkan suara adzan setegar mungkin, sekalipun hati pilu saat itu. Saya mengazankan almarhum ayah. Umur saya saat itu masih 17 tahun 8 bulan, namun sayalah anak tertua dari keluarga ini.

Saya terngiang akan sosok lelaki itu. Lelaki yang teduh tatap matanya, hangat senyumnya, dan lembut sikapnya. Lelaki yang lebih banyak berbicara lewat sikapnya dari pada lidahnya. Lelaki yang saya panggil ‘bapak’.. Belum banyak obrolan serius tercipta antara saya dengannya. Sepeninggalan beliau, saya baru menelusuri dirinya lebih jauh, lewat ibu saya, teman-temannya, dan siapa pun yang mengenalnya. Ternyata saya banyak mewarisi sifatnya, walopun secara fisik saya lebih cenderung ke ibu. Lelaki itu akan terus menginspirasi saya..

Ya Allah, ya Rabb, tempatkanlah Ayah-ayah kami di kedudukan yang mulia di sisi-Mu. Ampunkan segala khilaf dan salahnya. Persembahkan Jannah-Mu untuk mereka. Dan, jadikanlah kami anak yang saleh, anak yang bisa senantiasa membuat mereka tersenyum, sampai akhirnya nanti kami dipertemukan kembali.. Amiin..
Continue Reading →