Sunday, April 30, 2017

Menyelami Pemikiran Kartini (1)


Bulan April tentu identik dengan Kartini, dan hari kelahirannya, 21 April, diperingati sebagai hari Kartini. Sekedar intermezzo, pada tanggal yang sama seorang pahlawan lainnya juga lahir, ialah dr.Radjiman Wedyodiningrat, yang kiprahnya juga patut kita pelajari. Nama beliau baru-baru ini diabadikan sebagai nama gedung kantor pajak (biasa disebut gedung DJP) yang berlokasi di Gatsu Jakarta. Radjiman merupakan aktivis Budi Oetomo, lulusan Stovia (cikal bakal UI). Beliau merupakan ketua BPUPKI yang turut membidani awal lahirnya sistem perpajakan nasional bersama Mohammad Hatta.

Baiklah, kita kembali ke soal Kartini, pribadi yang sebenarnya penuh kontroversi. Kenapa kontroversial? Karena beberapa kalangan menilai Kartini tidak patut dijadikan pahlawan, setidaknya ada empat alasan yang mendasari. Pertama, Kartini dinilai tidak konsisten dengan sikap awalnya menentang beberapa tradisi seperti soal pingitan, akses pendidikan, dan poligami, karena pada akhirnya ia bersedia dinikahi bupati Rembang yang sudah punya tiga orang istri dan membatalkan rencana studinya ke Belanda (beasiswanya akhirnya diberikan kepada Mashudul Haq, atau yang biasa dikenal dengan K.H. Agus Salim)

Alasan kedua, tidak ada bukti yang kuat Kartini melawan Belanda malah cenderung sangat kooperatif dan toleran terhadap Belanda, sangat kontras dengan yang dilakukan oleh Cut Nyak Dien atau Laksmana Keumala Hayati. Ketiga, Kartini hanya fokus pada ruang lingkup Jawa, benar bahwa Indonesia sendiri belum lahir pada masanya, namun nusantara sudah ada sejak dulu, kalau sifatnya lokal mengapa tidak menonjolkan Dewi Sartika di Bandung atau Rohana Kudus di Padang, yang juga berjuang mengenai hak perempuan dan pendidikan.


Keempat, ada kecurigaan surat-surat yang ditulis Kartini direkayasa oleh Ny. Abendanon karena memang manuskrip asli tulisan tangan Kartini banyak yang hilang. Tambahan kontroversi terakhir, ada yang mencurigai Kartini meninggal diracun dokter kandungannya, dr. Van Ravesteyn, setelah empat hari melahirkan anak satu-satunya, Raden Mas Soesalit (kabarnya Kartini mulai mengeras dengan perilaku Belanda yang tentu berbahaya bagi pemerintah kolonial).

Di sisi lain, tentu Presiden Soekarno tidak sembarangan mengeluarkan Kepres penetapan Kartini sebagai pahlawan nasional pada tahun 1964. Jadi, apa istimewanya Kartini? Tebakan saya karena keberanian dan pemikirannya. Untuk bisa mengukur seberapa hebat Kartini tentu kita harus masuk ke konteks zamannya yang penuh keterbatasan dimana tembok-tembok tradisi begitu kokoh dan sakral.

Saya berkenalan dengan Kartini melalui buku PSPB jaman SD atau juga melalui lagu gubahan W.R. Supratman, saya lupa mana yang duluan. Gambar hitam putih itu mengesankan sosok yang begitu kalem dan anggun, namun ternyata salah besar! Sejak kecil beliau dipanggil Trinil lantaran kelakuannya yang cerewet, pecicilan, dan rasa ingin tahu yang besar.

Umur 12 tahun sudah dipingit, otomatis buku menjadi kawan setianya, dan untungnya bahasa Belandanya sangat fasih, sehingga literatur-literatur bahasa belanda dengan mudah ia pahami. Tidak sekedar membaca, beberapa referensi mengisahkan bahwa Kartini kerap memberi catatan-catatan di buku-buku yang dibacanya. Hal ini mengindikasikan ia adalah seorang yang kritis dan pembelajar yang aktif.

Perkenalan Kartini dengan ‘dunia luar’ itu pula yang pada akhirnya membuat ia bertanya, atau lebih tepatnya mulai menentang’ tradisi yang dirasakan sangat diskriminatif pada kaum perempuan. Hal tersebut sangat tabu, apalagi ia sebagai bengsawan seharusnya justru menjaga tradisi. Sayangnya ia tidak peduli soal kebangsawanan, malah ia pernah menulis:

“tidak ada yang lebih bodoh daripada melihat orang-orang yang membanggakan apa yang disebut ‘keturunan bangsawan’ itu”. Untuk konteks kekinian, mungkin perkataan itu biasa saja, tapi kalau kita tempatkan pada zamannya tentu itu pernyataan yang sangat keras.

Pemikiran Kartini sebetulnya tidak sebatas soal feminisme yang seperti selama ini ditonjolkan, bahkan kalau boleh saya berpendapat isu utamanya ialah keadilan dan ketimpangan sosial. Semakin banyak membaca, semakin banyak bertukar pikiran dengan sahabat penanya (Stella dll.), semakin luas wawasannya, dan semakin gelisah pula ia dengan fakta lingkungan yang melingkupinya. Kalau dicermati surat-suratnya bercerita juga soal keagamaan, pluralisme, serikat buruh, kebangsaan, dan administrasi negara.

Baiklah penjabaran lebih lanjut disambung ke Menyelami Pemikiran Kartini (2)
Sumber gambar: genmuda.com
Continue Reading →