Monday, November 14, 2016

Membaca Kisah Chairil Anwar



Beberapa hari yang lalu Tempo mengundang tokoh-tokoh nasional dan pekerja Seni seperti Agus Martowardojo, Luqman Hakim Saefuddin, Mira lesmana, dan Riri Riza untuk membacakan puisi di Museum Bank Indonesia. Acara bertajuk “Bung Ajo Bung!” tersebut merupakan peringatan Hari Pahlawan 10 November 2016.

“Bung Ajo Bung” merupakan salah satu slogan zaman perjuangan kemerdekaan yang digagas Chairil Anwar dan Angkatan 45. Pahlawan memang tidak harus identik dengan senapan dan bambu runcing, media perjuangan bisa melalui tulisan sebagaimana Founding Fathers kita pernah lakukan, pun demikian dengan Chairil Anwar dengan slogan dan sajak-sajaknya yang membakar semangat juang.

Bagaimana sebenarnya sosok Chairil Anwar?
Sjuman Djaya melalui buku yang berjudul “AKU” (yap, buku yang dibaca Rangga dan Cinta di film AADC) coba menggambarkan sosok Chairil Anwar.

Chairil lelaki berperawakan kurus, berambut ikal dengan mata merah cekung nan tajam, dan pembawaan yang selalu gelisah. Dalam sajaknya ia mengutuki dirinya sebagai “binatang jalang dari kumpulannya terbuang”, tapi ingin “hidup seribu tahun lagi” lalu, menjelang ajal ia berujar “hidup hanya menunda kekalahan, sebelum pada akhirnya kita menyerah”.

Pujangga legendaris kelahiran Medan 26 Juli 1922 itu awalnya kurang dianggap oleh kritikus di zamannya lantaran gaya bahasanya yang terlalu lugas dan kurang dihias, Chairil juga gemar membengkokan tata bahasa yang menurut eranya sudah baku dan lazim. ‘Kenakalan’ Chairil tidak hanya dalam gaya menulis namun juga gaya hidupnya. Konon, ia sering berkelana di gubuk-gubuk lokalisasi di kawasan Senen, meminjam sepeda kawannya tanpa bilang bahkan menggadaikan barang teman, numpang nginap dan makan sesukanya, mencuri barang nyonya Belanda, sampai pernah merobek lembaran-lembaran buku perpustakaan. Meski demikian ia sangat peduli terhadap perjuangan kemerdekaan, juga pribadi yang mudah dan luas pergaulannya termasuk kepada para pelukis seperti Affandi dan Sudjojono.

Masyarakat Indonesia barangkali tidak hanya familiar dengan sajak-sajaknya semisal Aku, Krawang-Bekasi, Diponegoro, atau Derai-derai Cemara, namun juga dengan slogan-slogan yang dibuat Chairil bersama kawan-kawannya seperti “Berjuang Sampai Titik Darah Penghabisan!”, “Ayo Bung Rebut Kembali!”, “Bung Ajo Bung!”, atau “Merdeka Atau Mati”! Kita juga barangkali akrab dengan penggalan larik pusinya yang sudah semacam aforisme seperti ““Sekali berarti, sudah itu mati”, “Nasib adalah kesunyian masing-masing”, “Mampus kau dikoyak-koyak sepi”, dan “Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar”.

Belakangan saya juga baru tahu kalau Chairil satu sekolahan dengan Sutan Sjahrir yang masih saudaranya dan juga Amir Hamzah di SMP 1 Medan (dahulu bernama MULO), namun mereka berbeda angkatan. Masih di kota yang sama saat, HB Jasin bersekolah di HBS Medan. Chairil kecil walaupun masih sekolah SMP/MULO ia sudah rajin membaca buku-buku siswa SMA/HBS terutama mengenai sejarah, ekonomi, dan sastra. Hobinya nonton film atau biasa disebut “gambar idoep”. Malam-malam keluyuran tak peduli besok pagi sekolah, bahkan ia gadaikan barang neneknya demi nonton gambar idoep.

Karya pertamanya merupakan sajak pendek berjudul “Nenek” yang ia tulisakan di bungkus rokok Cap Tombak, tidak lama setelah neneknya wafat.

“Bukan kematianmu menusuk kalbu
Hanya kepergianmu menerima segala apa”.


Chairil Anwar rupanya tidak hanya piawai mengolah kata, ia juga mahir berbahasa Inggris, Jerman, dan Belanda. Kemampuan itu pula yang membawanya menjadi pegawai negeri di badan statistik, sebagai penerjemah. Gaji yang terbilang lumayan, 60 gulden per bulan, tidak lekas membuatnya betah, ia tidak bertahan lama dan kembali menjadi seniman bebas.

Akhirnya, sang bohemian mati muda (27 tahun) karena tifus dan disentri, pada tanggal 28 April 1949. Dalam catatan HB Jasin, semasa hidupnya Chairil telah membuat 96 tulisan (70 sajak, 4 sajak saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa, 6 prosa terjemahan).

“Kita guyah lemah
Sekali tetak tentu rebah
Segala erang dan jeritan
Kita pendam dalam keseharian
Mari berdiri merentak
Diri-sekeliling kita bentak
Ini malam bulan akan menembus awan”.

Continue Reading →

Tuesday, June 21, 2016

Suatu Malam di Januari


Musim dingin mengusir matahari untuk lebih cepat pergi. Malam terasa panjang,dan aku masih terjaga hingga tengah malam. Dari jendela kamar, kulihat kemilau lampu jalan dan salju yang mencair. Suara riuh rendah orang asing kian meredup berganti deru angin Januari yang menusuk tulang.

Detak jam dinding terasa semakin kencang. Semakin kepejamkan mata, semakin berkelebat kenangan itu di kepala. Bayang wajahmu. Samar suaramu. Hangat dekapmu. Aku rindu.
Aku bergetar memeluk tubuh sendiri, meringkuk di balik selimut.

Persoalan-persoalan itu terus memburu sampai aku kehabisan nafas. Menjerat langkahku menemuimu. Rupanya kesombongan telah mengutuk diriku. Aku timpang tanpamu. 
Aku ingin kembali...



Brearley House 5E, Sheffield
Januari 2015
Continue Reading →