Tuesday, May 18, 2010

Brain Drainer Indonesia



Tanah airku tidak kulupakan..
Kan terkenang selama hidupku..
Biarpun saya pergi jauh..
Tidak kan hilang dari kalbu..
Tanahku yang kucintai..
Engkau kuhargai

(Ibu Sud,
Tanah Airku)


Hijrahnya manusia-manusia cerdas nan brilian dari sebuah negara (biasanya dari negara berkembang) ke negara lain (rata-rata negara maju) sering disebut sebagai Brain Drain. Human capital yang harganya mahal dan berperan penting bagi kemajuan sebuah bangsa, terbang jauh melintasi benua. Tentu ada rasa bangga melihat orang-orang Indonesia berkarier cemerlang di mancanegara. Baik sebagai profesional, peneliti, olahragawan, maupun sebagai seniman.

Meski demikian, tidak sedikit yang mengutuknya. Seperti polemik baru-baru ini, saat Sri Mulyani menerima tawaran menjadi managing director world bank. Muncullah berbagai hujatan, ada yang menuding egois, cari enak sendiri, tidak nasionalis, dan labelisasi negatif lainnya.

Sejarah Brain Drain
Fenomena brain drain dimulai ketika banyaknya tenaga trampil dari Eropa seperti Inggris, Jerman, juga Kanada memasuki Amerika dan menjadikan Amerika sebagai dream land pasca perang dunia II. Seiring dengan melajunya kedigdayaan Amerika, maka imigran yang memasuki Amerika di tahun 1980-an adalah para SDM trampil dan ahli dari Asia seperti China, Taiwan, India, dan Korea Selatan.

Brain Drainer Indonesia
Indonesia pun diam-diam mampu mengekspor banyak orang berbobot ke mancanegara. Bukan sekadar tenaga kerja kasar seperti yang selama ini menjadi sasaran empuk media massa. Berikut sedikit contoh yang saya tahu:

B.J.Habibie pernah bekerja di Messerschmitt-Bölkow-Blohm, perusahaan penerbangan yang berpusat di Hamburg, Jerman. Siddik Badruddin menjabat sebagai Direktur Country Risk Citibank Jerman.

Di benua Amerika, Indonesia ‘menitipkan’ Nelson Tanu di Lehigh University, Pennsylvania, AS. Lelaki kelahiran Medan ini adalah pakar teknologi nano yang merupakan kunci perkembangan sains dan rekayasa masa depan.

Di bidang ekonomi ada Sri Mulyani, bidang olah raga ada Rexy Mainaki yang kini melatih bulu tangkis di Malaysia. Di dunia seni pun ada Anggun C. Sasmi yang lebih memilih berkarier di Prancis juga Ananda Sukarlan yang kini menetap di Spanyol sebagai pianis yang menjadi langganan gedung konser paling bergengsi di Eropa.

Reverse Brain Drain
Pandangan bahwa brain drain melulu sesuatu yang merugikan dan menggerogoti negara berkembang, akhir-akhir ini banyak dibantah oleh para ahli. Prof.Dr. Saxenian dalam banyak jurnalnya megatakan bahwa pada dasarnya brain drain tidak lah abadi. Tetapi, dia hanya suatu siklus saja di dalam fenomena globalisasi yang dinamakan brain circulation. Semua brain drain berpotensi besar menjadi reverse brain drain yang memberi keuntungan pada negara pengirim. Contohnya adalah kasus Taiwan dan India.

Miin Wu seorang “braindrainer” yang lulus PhD dari Stanford tahun 1976. Lalu dia bekerja sebagai profesional di Silicon Valley dan kembali ke Taiwan 1989. Setelah kembali ke Taiwan, Wu mendirikan perusahaan Macronix Co. Perusahaan ini kini menjadi salah satu perusahaan semikonduktor terbesar di Taiwan dengan omset $ 300 juta/tahun dan menyerap 2.800 tenaga kerja.

Lakshmi Mittal sorang pria yang lahir dari keluarga miskin di Sadulpur, India dan kini menetap di London. Ia marupakan raja baja melalui perusahannya Mittal Steel. Dengan kekayaan itu, ia tak lupa pada negaranya. Salah satu bentuk kepeduliannya yaitu dengan mengembangkan olahragawan di India agar bisa berprestasi internasional. Ia membuat Mittal Champions Trust dan menghibahkan dana US$9 juta untuk mendukung sejumlah atlet India agar bisa berprestasi dan mengharumkan nama bangsa.

Saya percaya suatu hari nanti, fenomena reverse brain drain juga akan hinggap di negeri ini. Itulah momen dimana ribuan anak cemerlang yang telah berkiprah di negeri seberang akan berbondong-bondong pulang, ataupun berkontribusi dari jauh demi membangun ibu pertiwi tercinta.

Continue Reading →