Berita televisi kemarin siang, ramai memberitakan bentrokan antara Satpol PP dengan warga Koja yang menolak penggusuran makam Mbah Priok. Melihat berita ini saya jadi teringat tragedi Priok tahun 1984 silam.
Saat itu warga bentrok dengan tentara karena Sersan Hermanu merazia gambar-gambar berbau SARA di musola As-Sa’adah, namun caranya yang memasuki musola tanpa melepas sepatu dan mengobrak-abrik Al-Qur’an membuat warga marah. Warga pun membakar motor Sersan Hermanu, akibatnya 4 warga digelandang ke Kodim.
Ratusan masa mendatangi Kodim, tidak terima rekannya ditangkap. Bentrokan pun tak terelakan. Panglima ABRI L.B. Moerdani menyatakan 18 warga tewas, namun SONTAK (Solidaritas Nasional untuk peristiwa Tanjung priok) memperkirakan sekitar 400 orang tewas. Kasus tersebut gelap dan di era Orde Baru tersebut, orang ngeri mengungkit peristiwa ini.
Kejadian kemarin seakan memperlihatkan paralelisme sejarah. Bentrok antara aparat dengan rakyat sipil kembali terjadi, tentu dengan konteks dan alasan yang berbeda. Kali ini penyulutnya ialah rencana penertiban komplek makam Mbah Priok. Siapa sebenarnya Mbah Priok?
Mbah Priok adalah seorang ulama. Masyarakat menyebutnya Habib. Ia lahir di Palembang tahun 1727 dengan nama Al Imam Al`Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad. Tahun 1756 Habib pergi ke pulau Jawa untuk menyebarkan agama Islam.
Mereka berlayar menuju Batavia. Aneka rintangan menghadang. Legenda yang tersebar konon salah satu rintangan yang menghadang adalah armada Belanda. Lolos dari kejaran perahu Belanda, kapal Habib digulung ombak besar. Semua perlengkapan di dalam kapal hanyut dibawa gelombang. Dengan kondisi yang lemah, kedua ulama itu terseret hingga ke semenanjung yang saat itu belum bernama.
Ketika ditemukan warga, Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad sudah tewas, sedangkan Muhammad Al Hadad masih hidup. Di samping keduanya, terdapat periuk dan sebuah dayung. Warga memakamkan jenazah Habib Hasan tak jauh dari tempatnya ditemukan. Sebagai tanda, makam Habib diberi nisan berupa dayung yang menyertainya, sedangkan periuk diletakkan di sisi makam.
Diyakini, kisah periuk ini yang melatarbelakangi sebutan Priok untuk kawasan di utara Jakarta ini. Sebutan “Mbah” disematkan kepada Habib Hassan sebagai penghormatan terhadap beliau atau juga sebagai sesuatu yang dikeramatkan. Kisah periuk nasi dan dayung yang menjadi pohon tanjung lantas dipercaya sebagai asal-muasal nama Tanjung Priok bagi kawasan tersebut. Namun ada juga versi lain dari asal muasal nama Tanjung Priok.
Salah satu ahli waris pengurus makam mbah Priok, Habib Ali, menuturkan, upaya penggusuran makam keramat tersebut sudah terjadi sejak tahun 1997 dan terus digencarkan hingga saat ini. Aktor di belakang layar upaya penggusuran tersebut, kata Habib Ali, tidak lain adalah PT Pelindo selaku pengelola Pelabuhan Petikemas Koja. Sebab, areal makam mbah Priok akan dijadikan lahan perluasan terminal petikemas.
Warga tidak percaya kalau makam ini milik PT Pelindo. Sebab, menurut Ian Djuanda, kuasa hukum pihak komplek makam Mbah Priok sudah ada sejak 19 Desember 1934. Tapi, rencana eksekusi ditolak terus karena lahan ini dianggap merupakan milik Mbah Priok dan ahli warisnya dengan bukti sertifikat tanah yang dikeluarkan pemerintah Belanda di Indonesia (eigendom verponding).
Pihak pemerintah berulang kali menyatakan bahwa tidak ada penggusuran makam Mbah Priok, yang ada ialah penertibah lahan sisa sebesar 5,7 hektar. Inilah yang diperebutkan Pelindo dengan ahli waris.
Pelajaran yang bisa kita ambil dari peristiwa-peristiwa tersebut antara lain ialah pentingnya mengedepankan musyawarah, mengundang pihak ketiga untuk mediasi dan jalan damai lainnya. Kemudian ialah penegakan hukum, selama apapun kita menempati suatu lahan kalau memang itu bukan milik kita, secara legal kita tetap tidak bisa mengklaimnya. Khusus kasus Mbah Priok mungkin harus ada pertimbangan tempat tersebut sebagai situs cagar budaya yang mesti dilestraikan.
sumber:
vivanews.com
kompas.com
ummah.net
nggak suka lihat beritanya,,,,
ReplyDeletepertengkaran yang tak seharusnya ada,,,
iya,, kasian orang di lapangan cuma jadi boneka kepentingan elit. Apalagi yg kasus satpol pp yg nama Tadjudin, padahal dia juga ngaji di situ, eh malah kebunuh.. Astaghfirullah..
ReplyDeletesemoga gak akan terulang lagi,
ReplyDeletesalam kenal..
need IT???
http://www.linovtech.com