Acara kumpul-kumpul pun usai, sebagian dari kami mesti segera bergegas ke Pejompongan, daerah yang saya nggak tau lika-likunya. Saya ke sana untuk menghadiri acara ta’ziah 40 harian ayahnya teman saya di FHUI. Sebelum ke Pejompongan, saya nganterin Smita dulu ke Plaza Senayan, terus ngejemput Khalid di Ratu Plaza. Hari itu ojek saya sedang laris-manis rupanya..
Kedodolan pun terjadi, akibar dari pengetahuan yang minim soal Jakarta Pusat. Jadi, saya datang dari arah Gatot Subroto, dan di Pal Merah saya lupa belok, alhasil saya bablas sampai ke Tol Tomang-Slipi-Tangerang buat cari putaran balik arah. Bayangkan kawan, dengan kondisi mengendarai motor gerimis-gerimis itu saya hampir melintasi tiga provinsi sekaligus!! Pesan moral: Persiapkan amunisi sebaik mungkin sebelum Anda berangkat berperang, kalau tidak ingin bersimbah darah di medan tempur.
Alamat yang tidak lengkap, dan nomer handphone yang sulit dihubungi membuat kami kesulitan cari alamat. Akhirnya kami mampir di sebuah masjid, shalat maghrib, shalat isya, juga sekalian numpang neduh. Waktu menunjukkan pukul 20.30. Marbot masjid mulai mematikan lampu, tanda masjid mau tutup. HP saya bergetar, sms masuk, isinya berita duka cita lagi, ayah dari Arif Kurniawan, alumni 34 angkatan 2007, meninggal sore tadi selepas maghrib..
Kami pun tidak berhasil menemukan rumah teman kami (rumah kakeknya Thariq lebih tepatnya). Walopun tidak ikut tahlilan di rumah duka, kami tetap mendoakan almarhum dari masjid itu. Keesokan harinya saya menghadiri pemakaman ayahnya Arif di Andara, Pondok Labu. Tepat setelah shalat dzuhur, kami membentuk tiga shaf rapat untuk shalat jenazah. Setelah itu kami menuju pemakaman, Tangis pun pecah, berat memang ditinggalkan orang yang kita sayangi.
Sayup-sayup suara adzan terdengar, suasana hening dan haru menyelimuti pemakaman. Itu suara Arif, saya hafal betul warna suara itu, suara yang bersumber dari liang lahat, suara yang terdengar begitu lirih.. Serta-merta mata saya pun berkaca-kaca. Seketika saja ingatan saya tertarik ke lima tahun yang silam. Saat itu saya berusaha berdiri sekokoh mungkin, melantangkan suara adzan setegar mungkin, sekalipun hati pilu saat itu. Saya mengazankan almarhum ayah. Umur saya saat itu masih 17 tahun 8 bulan, namun sayalah anak tertua dari keluarga ini.
Saya terngiang akan sosok lelaki itu. Lelaki yang teduh tatap matanya, hangat senyumnya, dan lembut sikapnya. Lelaki yang lebih banyak berbicara lewat sikapnya dari pada lidahnya. Lelaki yang saya panggil ‘bapak’.. Belum banyak obrolan serius tercipta antara saya dengannya. Sepeninggalan beliau, saya baru menelusuri dirinya lebih jauh, lewat ibu saya, teman-temannya, dan siapa pun yang mengenalnya. Ternyata saya banyak mewarisi sifatnya, walopun secara fisik saya lebih cenderung ke ibu. Lelaki itu akan terus menginspirasi saya..
Ya Allah, ya Rabb, tempatkanlah Ayah-ayah kami di kedudukan yang mulia di sisi-Mu. Ampunkan segala khilaf dan salahnya. Persembahkan Jannah-Mu untuk mereka. Dan, jadikanlah kami anak yang saleh, anak yang bisa senantiasa membuat mereka tersenyum, sampai akhirnya nanti kami dipertemukan kembali.. Amiin..
amiiinnn...
ReplyDeleteohh akhirnya ga ketemu rumahnya? duh jadi ga enak udah nebeng hihihiihi..
btw setelah gw pikir2 ttg si permainan setegah jam, jadinya ternyata banyak yah waktu yang pingin diulang dan diperbaiki hihi
iya Smit, gw gak nemu rumahnya, tp mudah2an doa kami sampai..
ReplyDeleteSoal permainan itu, akhirnya gw jawab ke diri sendiri, kenangan manis bikin kita tersenyum, pengalaman lain buat pelajaran melangkah ke depannya (gw udah keliatan wise belom smit hehe..)
hahha udah-udah.. mungkin balik ke kenangan manis buat inget2 senengnya, dan ke pengalaman buruk buat memperbaiki hahaha *tetep harus ada yang diubah* haha
ReplyDeleteassalamu'alaikum ka awe...
ReplyDeletelagi nglink k blog firman, eh nemu blog kk
T_T jadi nangis bacanya...jadi kangen bapakku...semoga bapak ii diberi keberkahan umur