Sunday, June 5, 2011
Mega Typo
Pernah suatu ketika, saat baru bangun dari tidur saya nulis tweet seperti ini:
♬ bagaimana bisa kau hadir di mimpiku, padahal tak sedetikpun kutindu dirimu..♫
Itu adalah kutipan lirik lagunya The Groove yang judulnya “khayalan”. Tapi saya salah ketik, entah karena terburu-buru atau nyawa baru kumpul 50%, yang seharusnya kurindu jadi kutindu. Maklum, di papan qwerty huruf R dan T letaknya deketan. Sebenernya sih, dengan nalar sederhana orang pasti tahu maksudnya adalah kurindu bukan kutindu, apalagi kutinju! Jelas gak cocok dengan susunan kata yang ngebentuk kalimat tersebut.
Nah, itulah yang disebut typo (Typographical Error), definisi gampangnya adalah salah ketik. Jika kita salah ketik saat update status di facebook atau twitter, mungkin risikonya dijadikan bahan ledekan teman-teman. Tapi kalau salah ketiknya di surat kabar atau surat resmi kenegaraan? Bisa-bisa kita dianggap tidak profesional dan membuat orang salah paham.
Coba bayangkan jika ada surat yang semestinya berbunyi:
“Berhubung kami kurang dapat memahami nota dinas saudara tempo hari. Maka kami mohon penjelasan lebih lanjut..”
Menjadi:
“Berhubung kami kutang dapat memahami nota dinas saudara tempo hari. Maka kami mohon penjelasan lebih lanjut..”
WOOOI.. SEJAK KAPAN KUTANG DAPAT MEMAHAMI NOTA DINAS!!!
Fatal kan?
Typo juga bukan hanya soal salah menempatkan huruf, tapi juga penulisan yang tidak sesuai EYD atau memakai istilah yang keliru, contoh:
“Ibunda Sammy Iklaskan Anaknya Dipenjara” ☛ ikhlaskan
“Satpol PP Di Hadang Massa di Pasar Barito, Kebayoran Baru” ☛ Dihadang
“Digeber Nonstop 70 Jam, CBR 250cc Raih MURI” ☛ Museum diraih? Harus ada sisipan “Rekor”
Dan peristiwa mega typo baru-baru ini ialah saat redaksi TV One menulis “SBY PERINTAHKAN PENJEMBUTAN NAZARUDDIN” *__*
Kenapa saya sebut mega typo? Perhatikan keyboard qwerty anda, betapa jauh letak huruf P dengan B. Hmmh.. mungkin si penulis lagi ngantuk atau bengong jorok kali yah..
Continue Reading →
Saturday, June 4, 2011
Bahaya Permisivisme
Satu kata “reformasi” bisa memiliki banyak makna, tergantung siapa yang coba menafsirkannya. Reformasi identik dengan suatu perubahan (change), namun perubahan yang memiliki arah (vision) dan membawa manfaat (benefit), jika perubahan tersebut tidak membawa perbaikan, maka tidak layak disebut reformasi.
Pasca Reformasi 1998 pemerintah segera bergegas membenahi sisitem politik, hukum, dan perekonomian. Fase awal reformasi ini pun menunjukkan gejala perbaikan, sistem politik lebih demokratis, HAM ditegakkan, industri kreatif menggeliat, pertumbuhan ekonomi signifikan, serta pendapatan perkapita yang makin meningkat dari tahun ke tahun.
Meski demikian, era baru ini bukanlah tanpa ekses, dan mayoritas pencipta efek samping ini ialah pihak-pihak yang menganggap era reformasi ini ialah zaman serba boleh. Mereka larut dalam efuforia kebebasan, tidak ingin diatur dan dibatasi. Budaya permisif inilah yang melahirkan fenomena kebablasan di berbagai bidang.
Bidang Politik dan Otonomi Daerah
Terlalu banyaknya partai politik saat ini membuat sistem presidensial tidak efektif, kemudian berimbas pada tidak stabilnya roda pemerintahan. Pendirian parpol ini pun terlihat semata-mata hanya untuk mencari materi dan kepentingan politik, bukan pencerahan dalam proses demokratisasi. Atas dasar kemajemukan masyarakat Indonesia dan kebebasan berserikat, ide penyederhanaan parpol terus ditolak, padahal politik aliran yang ada di Indonesia dari dulu hanya itu-itu saja, tidak ada yang benar-benar baru.
Dalam hal otonomi daerah, kita berpegang pada UU No.32 Tahun 2004 sebagai payung hukum, walaupun masih memiliki berbagai kekurangan, yakni terlalu dominannya kewenangan dan kekuasaan DPRD, dan lemahnya kewenangan dan kekuasaan Gubernur, serta tidak kuatnya hirarki antara Gubernur dengan Bupati/Walikota yang berdampak pada lahirnya raja kecil di setiap daerah kabupaten/kota di Indonesia. Gubernur tidak bisa memerintah Bupati dan Walikota tertentu untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, karena memang menurut UU, Gubernur yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah hanya memiliki kewenangan untuk membina, mengawasi dan mengkoordindir pemerintah Kabupaten/Kota (Ps.38 (1) UU 32/2004).
Sistem tersebut banyak melahirkan raja-raja kecil yang sulit diatur dan tidak becus mengelola daerahnya secara optimal. Sejak reformasi, Indonesia memiliki 7 provinsi, 164 kabupaten dan 34 Kota baru hasil pemekaran, namun ironisnya 80% daerah baru tersebut dinyatakan gagal menyelenggarakan pemerintahan, bahkan hasil temuan BPK menyebutkan telah terjadi kebangkrutan keuangan daerah.
Bidang Pertahanan dan Keamanan
Tentu kita masih ingat dengan gembong teroris kualitas impor bernama Noordin M. Top dan Dr. Azhari yang telah merancang sejumlah pemboman di bumi pertiwi ini. A.M. Hendropriyono pernah mengutarakan bahwa teroris bisa eksis terus lantaran di sini habitatnya memang memungkinkan, masyarakat kita permisif sekali, sehingga teroris leluasa bergerak tanpa dicurigai.
Selain isu terorisme, saya juga menilai beberapa konflik yang melibatkan ormas yang membawa panji agama atau suku juga cenderung dibiarkan oleh aparat penegak hukum. Tentu alasannya adalah HAM dan terlalu sensitif jika ditindak keras. Contoh kasus sudah begitu banyak, seperti kasus Blowfish yang membawa nuansa kedaerahan (Flores dan Ambon), padahal itu masalah rebutan penguasaan lahan parkir genk John Kei dengan Hercules. Juga ricuh Kembang Latar vs FBR di Rempoa beberapa waktu lalu.
Bidang Tata Pemerintahan
Di penghujung tahun 2010 lalu, pemerintah menerbitkan Perpres No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Adapun area perubahan yang menjadi tujuan reformasi birokrasi yang tercantum dalam Perpres tersebut ialah perubahan dalam bidang organisasi, tata laksana, peraturan-perundang-undangan, SDM aparatur, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik, dan pola pikir serta budaya kerja.
Saat ini Indonesia memiliki 34 Kementerian, 28 LPNK (Lembaga Pemerintah Non Kementerian), dan 88 LNS (Lembaga Non Struktural). Pada bidang organisasi, kita berharap terwujudnya lembaga pemerintahan yang tepat fungsi dan tepat ukuran (right sizing). Meski demikian, yang terjadi justru sebaliknya, jauh panggang dari api. Struktur lembaga pemerintah terlalu tambun, lembaga baru yang memiliki kemiripan fungsi pun terus direstui untuk berdiri. Maka, terjadilah inflasi kelembagaan yang membuat birokrasi semrawut, tumpang tindih, dan menghabiskan banyak anggaran.
Bidang Media
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa selama 32 tahun era orde baru berdiri 289 media cetak, enam stasiun televisi dan 740 radio. Setahun pasca reformasi jumlah media cetak melonjak menjadi 1.687 penerbitan atau bertambah enam kali lipat. Bahkan media ‘esek-esek’ pun tidak ketinggalan memanfaatkan momentum ini.
Menurut anggota Dewan Pers Wikrama Iryans Abidin, melonjaknya jumlah media massa pasca reformasi tidak bisa dilepaskan dari proses liberalisasi pers yang ditandai dengan dihapuskannya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Dari segi SDM, insan pers dinilai mengalami degradasi kualitas. Hal ini tercermin dari sekitar 40 ribu wartawan Indonesia hanya 20% atau sekitar 8.000 orang saja yang paham dengan Kode Etik Jurnalistik dan UU No. 40/1999 tentang Pers.
Ini menunjukkan bahwa untuk mendirikan media pers saat ini tidaklah sulit, masuk ke profesi wartawan pun begitu longgar. Pers saat ini seakan kehilangan tujuannya, hujat sana, hujat sini, dan sering kali membawa kepentingan pemilik media, bukan kepentingan masyarakat luas. Ketika coba dikritik atau digugat terkait pemberitaan yang berlebihan atau bahkan fitnah, pastilah mereka akan menuding balik, kita tidak pro pada kebebasan pers.
Kita boleh saja dendam dengan gaya otoritarian era Orba, tapi bukan berarti membuang habis nilai-nilai yang ada pada zaman tersebut. Keamanan yang terjamin, keserempakan gerak langkah pusat-daerah, program KB dan iklim investasi yang kondusif adalah beberapa hal yang masih relevan untuk dipertahankan. Di sinilah tantangannya, bagaimana kita menjaga keseimbangan antara kebebasan dengan keteraturan dengan selaras.
Cukup sudah rasanya kita membiarkan daerah-daerah terus membelah diri bagai amoeba, parpol terus menjamur, lembaga tidak jelas fungsinya menggrogoti keuangan negara, media asal ngoceh tanpa data yang valid merajalela, dan ormas berbasis agama atau kedaerahan beralih fungsi menjadi penegak hukum jalanan. Negara liberal manapun punya kede etik dan bisa bertindak tegas sesuai konstitusi, karena demokrasi hanyalah alat bukan tujuan.
Continue Reading →