Memaknai Setiap Arti
Sunday, April 30, 2017
Menyelami Pemikiran Kartini (1)
Bulan April tentu identik dengan Kartini, dan hari kelahirannya, 21 April, diperingati sebagai hari Kartini. Sekedar intermezzo, pada tanggal yang sama seorang pahlawan lainnya juga lahir, ialah dr.Radjiman Wedyodiningrat, yang kiprahnya juga patut kita pelajari. Nama beliau baru-baru ini diabadikan sebagai nama gedung kantor pajak (biasa disebut gedung DJP) yang berlokasi di Gatsu Jakarta. Radjiman merupakan aktivis Budi Oetomo, lulusan Stovia (cikal bakal UI). Beliau merupakan ketua BPUPKI yang turut membidani awal lahirnya sistem perpajakan nasional bersama Mohammad Hatta.
Baiklah, kita kembali ke soal Kartini, pribadi yang sebenarnya penuh kontroversi. Kenapa kontroversial? Karena beberapa kalangan menilai Kartini tidak patut dijadikan pahlawan, setidaknya ada empat alasan yang mendasari. Pertama, Kartini dinilai tidak konsisten dengan sikap awalnya menentang beberapa tradisi seperti soal pingitan, akses pendidikan, dan poligami, karena pada akhirnya ia bersedia dinikahi bupati Rembang yang sudah punya tiga orang istri dan membatalkan rencana studinya ke Belanda (beasiswanya akhirnya diberikan kepada Mashudul Haq, atau yang biasa dikenal dengan K.H. Agus Salim)
Alasan kedua, tidak ada bukti yang kuat Kartini melawan Belanda malah cenderung sangat kooperatif dan toleran terhadap Belanda, sangat kontras dengan yang dilakukan oleh Cut Nyak Dien atau Laksmana Keumala Hayati. Ketiga, Kartini hanya fokus pada ruang lingkup Jawa, benar bahwa Indonesia sendiri belum lahir pada masanya, namun nusantara sudah ada sejak dulu, kalau sifatnya lokal mengapa tidak menonjolkan Dewi Sartika di Bandung atau Rohana Kudus di Padang, yang juga berjuang mengenai hak perempuan dan pendidikan.
Keempat, ada kecurigaan surat-surat yang ditulis Kartini direkayasa oleh Ny. Abendanon karena memang manuskrip asli tulisan tangan Kartini banyak yang hilang. Tambahan kontroversi terakhir, ada yang mencurigai Kartini meninggal diracun dokter kandungannya, dr. Van Ravesteyn, setelah empat hari melahirkan anak satu-satunya, Raden Mas Soesalit (kabarnya Kartini mulai mengeras dengan perilaku Belanda yang tentu berbahaya bagi pemerintah kolonial).
Di sisi lain, tentu Presiden Soekarno tidak sembarangan mengeluarkan Kepres penetapan Kartini sebagai pahlawan nasional pada tahun 1964. Jadi, apa istimewanya Kartini? Tebakan saya karena keberanian dan pemikirannya. Untuk bisa mengukur seberapa hebat Kartini tentu kita harus masuk ke konteks zamannya yang penuh keterbatasan dimana tembok-tembok tradisi begitu kokoh dan sakral.
Saya berkenalan dengan Kartini melalui buku PSPB jaman SD atau juga melalui lagu gubahan W.R. Supratman, saya lupa mana yang duluan. Gambar hitam putih itu mengesankan sosok yang begitu kalem dan anggun, namun ternyata salah besar! Sejak kecil beliau dipanggil Trinil lantaran kelakuannya yang cerewet, pecicilan, dan rasa ingin tahu yang besar.
Umur 12 tahun sudah dipingit, otomatis buku menjadi kawan setianya, dan untungnya bahasa Belandanya sangat fasih, sehingga literatur-literatur bahasa belanda dengan mudah ia pahami. Tidak sekedar membaca, beberapa referensi mengisahkan bahwa Kartini kerap memberi catatan-catatan di buku-buku yang dibacanya. Hal ini mengindikasikan ia adalah seorang yang kritis dan pembelajar yang aktif.
Perkenalan Kartini dengan ‘dunia luar’ itu pula yang pada akhirnya membuat ia bertanya, atau lebih tepatnya mulai menentang’ tradisi yang dirasakan sangat diskriminatif pada kaum perempuan. Hal tersebut sangat tabu, apalagi ia sebagai bengsawan seharusnya justru menjaga tradisi. Sayangnya ia tidak peduli soal kebangsawanan, malah ia pernah menulis:
“tidak ada yang lebih bodoh daripada melihat orang-orang yang membanggakan apa yang disebut ‘keturunan bangsawan’ itu”. Untuk konteks kekinian, mungkin perkataan itu biasa saja, tapi kalau kita tempatkan pada zamannya tentu itu pernyataan yang sangat keras.
Pemikiran Kartini sebetulnya tidak sebatas soal feminisme yang seperti selama ini ditonjolkan, bahkan kalau boleh saya berpendapat isu utamanya ialah keadilan dan ketimpangan sosial. Semakin banyak membaca, semakin banyak bertukar pikiran dengan sahabat penanya (Stella dll.), semakin luas wawasannya, dan semakin gelisah pula ia dengan fakta lingkungan yang melingkupinya. Kalau dicermati surat-suratnya bercerita juga soal keagamaan, pluralisme, serikat buruh, kebangsaan, dan administrasi negara.
Baiklah penjabaran lebih lanjut disambung ke Menyelami Pemikiran Kartini (2)
Sumber gambar: genmuda.com
Continue Reading →
Wednesday, January 25, 2017
Momok bernama Hoax
Sebelum tidur, seperti biasa saya mematikan internet ponsel lalu kemudian memasang alarm. Namun malam itu, belum sempat saya meraih ponsel untuk setting alarm, ada bunyi getaran. Saya cek ternyata ada notifikasi di whatsapp grup. Ada kawan yang repost berita tentang uang emisi 2016 keluaran BI yang menyerupai Yuan/Renmibi (mata uang China) dan ada logo palu arit-nya dengan diiringi caption “kayaknya pemerintah kita makin pro Kiri nih gaes”.
Berita semacam itu sebenernya sudah sering saya jumpai di facebook dan twitter, apalagi pas musim pemilu, seperti Pilgub DKI sekarang ini. Share berita yang nggak jelas kayak gitu berseliweran di jagat maya. Maklum lah di era digital seperti sekarang ini, medsos sudah seperti ‘pasar ide’ dimana beberapa pihak mencoba menggiring opini massa dan menguasai gagasan di ranah digital. Sayangnya di antara mereka juga saling menjatuhkan dengan cara menghasut, mengintimidasi dan cara lainnya. Makannya sekarang banyak bermunculan istilah seperti hate speech, cyber harassment, cyber bullying dsb.
Berita-berita semacam itu kini sering disebut “Hoax”. Saya sendiri pertama kali tau istilah hoax saat masih sering buka Kaskus karena banyak komentar “No Pic = Hoax gan”, itu maksudnya semacam challenge ke si pembuat thread/postingan untuk kasih bukti gambar kalau gak mau dibilang bohong.
Sebenarnya apa sih Hoax itu? yang sampe bikin pemerintahan Jokowi sibuk merespon, bahkan SBY juga ikutan heboh dengan nge-tweet “Ya Allah, Tuhan YME. Negara kok jadi begini. Juru fitnah dan penyebar ‘hoax’ berkuasa dan merajalela. Kapan rakyat dan yg lemah menang?”.
Menurut dictionary.com hoax (n) didefinisikan: “something intended to deceive or defraud”. Muncul sejak Abad ke-18 yang berasal dari kata Hocus yang berarti to stupefy, trickery, dan deception. Kalau kita buka Thesaurus, hoax memiliki kesamaan makna dengan cheat, deceit, dan falsification.
Kalau kita perhatikan definisi di atas, makna hoax lebih kepada “tipu daya”, caranya ya bisa dengan memberi informasi yang palsu, dipelintir, tidak utuh, dsb. Rocky Gerung malah berpendapat, hoax bisa jadi sebuah fakta, tapi nilai informasinya nol atau misleading. Berita tersebut disajikan dan di-framing sedemikian rupa agar si pembaca mengikuti opini si pembuat berita. Ada yang bilang fenomena semacam ini sebenarnya sudah ada sejak lama. Dengan sedikit berkelakar, bahkan ada yang bilang hoax itu sudah ada sebelum abad ke-18, dan yang pertama kali jadi korbannya adalah Nabi Adam saat ia terayu tipu muslihat syaitan untuk memakan buah Khuldi.
Pertanyaan berikutnya, kenapa hoax begitu mudah menyebar? Beberapa analisa yang banyak saya temui, penyebabnya ialah literasi masyarakat Indonesia yang rendah. Well, bener juga sih. Penelitian yang dipublikasikan Central Connecticut State University (CSSU) menempatkan Indonesia di posisi 60 dari 61 negara yang diteliti. Asumsinya di sini, tentu orang dengan literasi yang rendah pasti kurang memiliki kemampuan mencerna informasi dengan baik.
Tapi saya menyangsikan hal itu sebagai satu-satunya alasan. Seperti yang disampaikan David Kushner “Fake news is just a symptom. The disease is the atrophying of due diligence, skepticism, and critical thinking.” Bicara soal berpikir kritis, hal ini kadang tidak in line dengan tingkat pendidikan seseorang, buktinya ada lho seorang Doktor lulusan luar negeri yang katanya juga seorang cendekiawan, yang sudah pasti memiliki tingkat literasi yang baik, tapi percaya sama hal klenik semacam penggandaan uang.
Hal lain yang perlu kita catat, bahwa “tidak mampu” dan “malas” adalah dua hal yang berbeda. Kemalasan dan sikap masa bodoh bisa menjangkiti siapapun. Ada seorang terpelajar karena malas atau tidak objektif, malah ikutan jadi penyebar hoax. Kok bisa? Menurut Daniel Kahneman, seorang psikolog yang mendapat nobel ekonomi, dalam bukunya “Thinking, Fast and Slow” sedikit banyak mungkin bisa menjawabnya.
Menurut Kahneman, cara berfikir manusia simply bisa dibagi dua, yaitu Sistem 1 dan Sistem 2. Sistem 1 karakteristiknya cepat, naluriah, stereotype dan emosional, sedangkan Sistem 2 lambat, penuh pertimbangan dan logis. Dalam keseharian, sadar atau tidak sadar kita seringkali memakai Sistem 1 untuk suatu hal yang semestinya dilakukan dengan cara Sistem 2. Setidaknya ada tiga hal yang membuat seseorang menjadi seperti itu, yaitu confirmation bias, cognitive ease, dan appeal to emotion. Penjelasan mengenai confirmation bias enaknya pake ilustrasi nih:
“When you thought about the unlikely victory of a third-party candidate, your associative system worked in its usual confirmatory mode, selectively retrieving evidence, instances, and images that would make the statement true” (Kahneman 2011, p.324).
Jadi, ketika sebelum melakukan konfirmasi dan verifikasi kita sudah punya pra-anggapan, maka kita cenderung berfikir/bekerja dengan sistem 1. Kita tidak mengkaji serta mengumpulkan evidence secara utuh, berimbang dan solid, kita hanya mengambil sebagian yang sekiranya akan membenarkan anggapan kita tadi.
Hal yang kedua ialah cognitive ease. Yaitu sesuatu yang semestinya diuji dulu kejelasan gagasan/sumbernya serta akurasi dan validitas datanya, tapi kita hanya pakai jurus “feels familiar, feels true, and feels good.” Intinya, males! Kemudian yang ketiga ialah appeal to emotion, ini bias kognisi karena kita kadung esmosi, apalagi kalo kita orangnya baperan, sehingga sistem pikir kita enggan melakukan check and re-check data. Dan gawatnya kalau sudah menyangkut urusan agama dan suku banyak orang yang mudah terlecut emosinya.
Lantas, bagaimana menaggulangi momok hoax ini disamping menjaga diri kita masing-masing dengan memverifikasi setiap berita yang kita terima sebelum di-share? Secara umum, sebenarnya sudah ada regulasinya, yaitu UU No.19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), pencegahannya bisa dengan mengedukasi masyarakat sedangkan penindakannya tentu dilakukan oleh aparat penegak hukum, mengingat deliknya aduan maka kita bisa turut berpartisipasi aktif kalau ada konten yang meresahkan dengan melaporkannya kepada yang berwajib atau mengirim link, gambar, atau broadcast tersebut ke aduankonten@mail.kominfo.go.id.
Gimana Sob? Apakah sampeyan sudah cukup kritis dan objektif dalam membaca berita yang berseliweran?
sumber gambar: engineeringwellness
Berita semacam itu sebenernya sudah sering saya jumpai di facebook dan twitter, apalagi pas musim pemilu, seperti Pilgub DKI sekarang ini. Share berita yang nggak jelas kayak gitu berseliweran di jagat maya. Maklum lah di era digital seperti sekarang ini, medsos sudah seperti ‘pasar ide’ dimana beberapa pihak mencoba menggiring opini massa dan menguasai gagasan di ranah digital. Sayangnya di antara mereka juga saling menjatuhkan dengan cara menghasut, mengintimidasi dan cara lainnya. Makannya sekarang banyak bermunculan istilah seperti hate speech, cyber harassment, cyber bullying dsb.
Berita-berita semacam itu kini sering disebut “Hoax”. Saya sendiri pertama kali tau istilah hoax saat masih sering buka Kaskus karena banyak komentar “No Pic = Hoax gan”, itu maksudnya semacam challenge ke si pembuat thread/postingan untuk kasih bukti gambar kalau gak mau dibilang bohong.
Sebenarnya apa sih Hoax itu? yang sampe bikin pemerintahan Jokowi sibuk merespon, bahkan SBY juga ikutan heboh dengan nge-tweet “Ya Allah, Tuhan YME. Negara kok jadi begini. Juru fitnah dan penyebar ‘hoax’ berkuasa dan merajalela. Kapan rakyat dan yg lemah menang?”.
Menurut dictionary.com hoax (n) didefinisikan: “something intended to deceive or defraud”. Muncul sejak Abad ke-18 yang berasal dari kata Hocus yang berarti to stupefy, trickery, dan deception. Kalau kita buka Thesaurus, hoax memiliki kesamaan makna dengan cheat, deceit, dan falsification.
Kalau kita perhatikan definisi di atas, makna hoax lebih kepada “tipu daya”, caranya ya bisa dengan memberi informasi yang palsu, dipelintir, tidak utuh, dsb. Rocky Gerung malah berpendapat, hoax bisa jadi sebuah fakta, tapi nilai informasinya nol atau misleading. Berita tersebut disajikan dan di-framing sedemikian rupa agar si pembaca mengikuti opini si pembuat berita. Ada yang bilang fenomena semacam ini sebenarnya sudah ada sejak lama. Dengan sedikit berkelakar, bahkan ada yang bilang hoax itu sudah ada sebelum abad ke-18, dan yang pertama kali jadi korbannya adalah Nabi Adam saat ia terayu tipu muslihat syaitan untuk memakan buah Khuldi.
Pertanyaan berikutnya, kenapa hoax begitu mudah menyebar? Beberapa analisa yang banyak saya temui, penyebabnya ialah literasi masyarakat Indonesia yang rendah. Well, bener juga sih. Penelitian yang dipublikasikan Central Connecticut State University (CSSU) menempatkan Indonesia di posisi 60 dari 61 negara yang diteliti. Asumsinya di sini, tentu orang dengan literasi yang rendah pasti kurang memiliki kemampuan mencerna informasi dengan baik.
Tapi saya menyangsikan hal itu sebagai satu-satunya alasan. Seperti yang disampaikan David Kushner “Fake news is just a symptom. The disease is the atrophying of due diligence, skepticism, and critical thinking.” Bicara soal berpikir kritis, hal ini kadang tidak in line dengan tingkat pendidikan seseorang, buktinya ada lho seorang Doktor lulusan luar negeri yang katanya juga seorang cendekiawan, yang sudah pasti memiliki tingkat literasi yang baik, tapi percaya sama hal klenik semacam penggandaan uang.
Hal lain yang perlu kita catat, bahwa “tidak mampu” dan “malas” adalah dua hal yang berbeda. Kemalasan dan sikap masa bodoh bisa menjangkiti siapapun. Ada seorang terpelajar karena malas atau tidak objektif, malah ikutan jadi penyebar hoax. Kok bisa? Menurut Daniel Kahneman, seorang psikolog yang mendapat nobel ekonomi, dalam bukunya “Thinking, Fast and Slow” sedikit banyak mungkin bisa menjawabnya.
Menurut Kahneman, cara berfikir manusia simply bisa dibagi dua, yaitu Sistem 1 dan Sistem 2. Sistem 1 karakteristiknya cepat, naluriah, stereotype dan emosional, sedangkan Sistem 2 lambat, penuh pertimbangan dan logis. Dalam keseharian, sadar atau tidak sadar kita seringkali memakai Sistem 1 untuk suatu hal yang semestinya dilakukan dengan cara Sistem 2. Setidaknya ada tiga hal yang membuat seseorang menjadi seperti itu, yaitu confirmation bias, cognitive ease, dan appeal to emotion. Penjelasan mengenai confirmation bias enaknya pake ilustrasi nih:
“When you thought about the unlikely victory of a third-party candidate, your associative system worked in its usual confirmatory mode, selectively retrieving evidence, instances, and images that would make the statement true” (Kahneman 2011, p.324).
Jadi, ketika sebelum melakukan konfirmasi dan verifikasi kita sudah punya pra-anggapan, maka kita cenderung berfikir/bekerja dengan sistem 1. Kita tidak mengkaji serta mengumpulkan evidence secara utuh, berimbang dan solid, kita hanya mengambil sebagian yang sekiranya akan membenarkan anggapan kita tadi.
Hal yang kedua ialah cognitive ease. Yaitu sesuatu yang semestinya diuji dulu kejelasan gagasan/sumbernya serta akurasi dan validitas datanya, tapi kita hanya pakai jurus “feels familiar, feels true, and feels good.” Intinya, males! Kemudian yang ketiga ialah appeal to emotion, ini bias kognisi karena kita kadung esmosi, apalagi kalo kita orangnya baperan, sehingga sistem pikir kita enggan melakukan check and re-check data. Dan gawatnya kalau sudah menyangkut urusan agama dan suku banyak orang yang mudah terlecut emosinya.
Lantas, bagaimana menaggulangi momok hoax ini disamping menjaga diri kita masing-masing dengan memverifikasi setiap berita yang kita terima sebelum di-share? Secara umum, sebenarnya sudah ada regulasinya, yaitu UU No.19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), pencegahannya bisa dengan mengedukasi masyarakat sedangkan penindakannya tentu dilakukan oleh aparat penegak hukum, mengingat deliknya aduan maka kita bisa turut berpartisipasi aktif kalau ada konten yang meresahkan dengan melaporkannya kepada yang berwajib atau mengirim link, gambar, atau broadcast tersebut ke aduankonten@mail.kominfo.go.id.
Gimana Sob? Apakah sampeyan sudah cukup kritis dan objektif dalam membaca berita yang berseliweran?
sumber gambar: engineeringwellness
Label:
Politic,
psychology,
social phenomenon
Monday, November 14, 2016
Membaca Kisah Chairil Anwar
Beberapa hari yang lalu Tempo mengundang tokoh-tokoh nasional dan pekerja Seni seperti Agus Martowardojo, Luqman Hakim Saefuddin, Mira lesmana, dan Riri Riza untuk membacakan puisi di Museum Bank Indonesia. Acara bertajuk “Bung Ajo Bung!” tersebut merupakan peringatan Hari Pahlawan 10 November 2016.
“Bung Ajo Bung” merupakan salah satu slogan zaman perjuangan kemerdekaan yang digagas Chairil Anwar dan Angkatan 45. Pahlawan memang tidak harus identik dengan senapan dan bambu runcing, media perjuangan bisa melalui tulisan sebagaimana Founding Fathers kita pernah lakukan, pun demikian dengan Chairil Anwar dengan slogan dan sajak-sajaknya yang membakar semangat juang.
Bagaimana sebenarnya sosok Chairil Anwar?
Sjuman Djaya melalui buku yang berjudul “AKU” (yap, buku yang dibaca Rangga dan Cinta di film AADC) coba menggambarkan sosok Chairil Anwar.
Chairil lelaki berperawakan kurus, berambut ikal dengan mata merah cekung nan tajam, dan pembawaan yang selalu gelisah. Dalam sajaknya ia mengutuki dirinya sebagai “binatang jalang dari kumpulannya terbuang”, tapi ingin “hidup seribu tahun lagi” lalu, menjelang ajal ia berujar “hidup hanya menunda kekalahan, sebelum pada akhirnya kita menyerah”.
Pujangga legendaris kelahiran Medan 26 Juli 1922 itu awalnya kurang dianggap oleh kritikus di zamannya lantaran gaya bahasanya yang terlalu lugas dan kurang dihias, Chairil juga gemar membengkokan tata bahasa yang menurut eranya sudah baku dan lazim. ‘Kenakalan’ Chairil tidak hanya dalam gaya menulis namun juga gaya hidupnya. Konon, ia sering berkelana di gubuk-gubuk lokalisasi di kawasan Senen, meminjam sepeda kawannya tanpa bilang bahkan menggadaikan barang teman, numpang nginap dan makan sesukanya, mencuri barang nyonya Belanda, sampai pernah merobek lembaran-lembaran buku perpustakaan. Meski demikian ia sangat peduli terhadap perjuangan kemerdekaan, juga pribadi yang mudah dan luas pergaulannya termasuk kepada para pelukis seperti Affandi dan Sudjojono.
Masyarakat Indonesia barangkali tidak hanya familiar dengan sajak-sajaknya semisal Aku, Krawang-Bekasi, Diponegoro, atau Derai-derai Cemara, namun juga dengan slogan-slogan yang dibuat Chairil bersama kawan-kawannya seperti “Berjuang Sampai Titik Darah Penghabisan!”, “Ayo Bung Rebut Kembali!”, “Bung Ajo Bung!”, atau “Merdeka Atau Mati”! Kita juga barangkali akrab dengan penggalan larik pusinya yang sudah semacam aforisme seperti ““Sekali berarti, sudah itu mati”, “Nasib adalah kesunyian masing-masing”, “Mampus kau dikoyak-koyak sepi”, dan “Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar”.
Belakangan saya juga baru tahu kalau Chairil satu sekolahan dengan Sutan Sjahrir yang masih saudaranya dan juga Amir Hamzah di SMP 1 Medan (dahulu bernama MULO), namun mereka berbeda angkatan. Masih di kota yang sama saat, HB Jasin bersekolah di HBS Medan. Chairil kecil walaupun masih sekolah SMP/MULO ia sudah rajin membaca buku-buku siswa SMA/HBS terutama mengenai sejarah, ekonomi, dan sastra. Hobinya nonton film atau biasa disebut “gambar idoep”. Malam-malam keluyuran tak peduli besok pagi sekolah, bahkan ia gadaikan barang neneknya demi nonton gambar idoep.
Karya pertamanya merupakan sajak pendek berjudul “Nenek” yang ia tulisakan di bungkus rokok Cap Tombak, tidak lama setelah neneknya wafat.
“Bukan kematianmu menusuk kalbu
Hanya kepergianmu menerima segala apa”.
Chairil Anwar rupanya tidak hanya piawai mengolah kata, ia juga mahir berbahasa Inggris, Jerman, dan Belanda. Kemampuan itu pula yang membawanya menjadi pegawai negeri di badan statistik, sebagai penerjemah. Gaji yang terbilang lumayan, 60 gulden per bulan, tidak lekas membuatnya betah, ia tidak bertahan lama dan kembali menjadi seniman bebas.
Akhirnya, sang bohemian mati muda (27 tahun) karena tifus dan disentri, pada tanggal 28 April 1949. Dalam catatan HB Jasin, semasa hidupnya Chairil telah membuat 96 tulisan (70 sajak, 4 sajak saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa, 6 prosa terjemahan).
“Kita guyah lemah
Sekali tetak tentu rebah
Segala erang dan jeritan
Kita pendam dalam keseharian
Mari berdiri merentak
Diri-sekeliling kita bentak
Ini malam bulan akan menembus awan”.
Continue Reading →
Label:
indonesiaku,
Puisi,
tokoh
Tuesday, June 21, 2016
Suatu Malam di Januari
Musim dingin mengusir matahari untuk lebih cepat pergi. Malam terasa panjang,dan aku masih terjaga hingga tengah malam. Dari jendela kamar, kulihat kemilau lampu jalan dan salju yang mencair. Suara riuh rendah orang asing kian meredup berganti deru angin Januari yang menusuk tulang.
Detak jam dinding terasa semakin kencang. Semakin kepejamkan mata, semakin berkelebat kenangan itu di kepala. Bayang wajahmu. Samar suaramu. Hangat dekapmu. Aku rindu.
Aku bergetar memeluk tubuh sendiri, meringkuk di balik selimut.
Persoalan-persoalan itu terus memburu sampai aku kehabisan nafas. Menjerat langkahku menemuimu. Rupanya kesombongan telah mengutuk diriku. Aku timpang tanpamu.
Aku ingin kembali...
Brearley House 5E, Sheffield
Januari 2015
Continue Reading →
Label:
Puisi
Thursday, December 31, 2015
Tentang Sheffield (1)
Sheffield. Suatu tempat yang sebelumnya sangat asing buat saya, namun di sanalah nantinya pengalaman baru dan kejutan-kejutan tak terlupakan akan terjadi.
Berawal pada akhir 2013, ketika itu saya mendapat tawaran untuk melanjutkan studi S2 ke luar negeri dari kantor tempat saya bekerja. Sebelum berangkat saya bersama kawan-kawan diberikan pelatihan bahasa, pengetahuan akademik dan kultural sebagai bekal di tempat studi nantinya. Selama pelatihan tersebut saya juga mempersiapkan segala keperluan administrasi keberangkatan dan dokumen-dokumen untuk mendaftar di universitas yang dituju.
Di akhir pelatihan saya mencoba tes TOEFL iBT dan IELTS, namun akhirnya hanya nilai IELTS aja yang saya pakai. Nilai IELTS saya overall 6.5 dan ada satu komponen yang hanya 5.5 (speaking). Dengan modal nilai IELTS segitu gak semua universitas yang tadinya saya incer bisa saya penuhi English requirement-nya. Awalnya saya pingin ke London atau New York, namun apa daya nilai tidak mencukupi.
Dalam memilih kampus, pilihan saya fokuskan ke dua negara di eropa, Inggris dan Belanda, alasannya karena dua negara tersebut memiliki reputasi sistem pendidikan yang sangat baik. Percaya gak? Oke deh saya ngaku, sebenernya ada maksud terselubung pingin euro trip ;D
Dari sekian aplikasi yang saya ajukan saya mendapat letter of acceptance dari empat kampus, dua di UK (Bradford dan Sheffield) dan dua lagi di Belanda (Twente dan ISS Den Haag). Akhirnya saya pilih ke Inggris, lagi-lagi dengan alasan yang sangat prinsipil, mau nonton dan ziarah ke stadion-stadion klub English Premiere League ;D
Opsi antara Bradford dan Sheffield cukup membingungkan, secara ranking Sheffield yang tergabung dalam Russel group, memiliki peringkat lebih baik dan program yang ditawarkan juga menarik atau menantang lebih tepatnya, Governance and Public Policy. Nah tapi program Master of Public Administration di Bradford kurikulumnya lebih nyambung sama studi S1 saya sebelumnya serta nyambung pula dengan core business tempat saya kerja, dan udah ada dua teman kantor yang berencana ke sana saat itu.
Pilihan akhirnya jatuh kepada Sheffield. Yes, I chose to challenge myself, walopun nanti ada masa di mana saya bener-bener babak belur. Lebih lengkapnya ada di tulisan Tentang Sheffield Part 2.
Secara besaran populasi, Sheffield merupakan kota terbesar ke-empat di Inggris setelah London, Birmingham, dan Leeds. Namun Sheffield kalah atraktif dari tetangganya Manchester atau bahkan Liverpool. Dahulu Sheffield dijuluki Stainless Steel City, karena merupakan sentra industri baja termasuk senjata sebelum akhirnya dibom oleh Jerman saat Perang Dunia. Kini Sheffield lebih dikenal karena pesona alamnya dan keramahan penduduknya menurut survey yang ada. Mungkin karena alasan itu lah, seorang kawan pernah bilang kalo Sheffield itu semacam Jogjanya UK.
Kalo temen-temen pernah baca Novel tetralogi Laskar Pelangi karangan Andrea Hirata, tentu pernah denger yang namanya desa Edensor. Ya, Edensor ada di countryside kota Sheffield. Sheffield memang daerah perbukitan dan tidak jauh dari sana ada taman nasional Peak District.
Nah itu dia sekilas tentang Sheffield, sekarang saatnya saya cerita tentang perjuangan bertahan hidup dalam artian perut maupun nasib akademik saat kuliah di Tentang Sheffield Part 2. Continue Reading →
Subscribe to:
Posts (Atom)